Negeri Para Badut?

PENANEWS.WEB.ID


Oleh:

Dr. H. Masduki Duryat, M.Pd., CFLS

(Rektor Institut Studi Islam Al-Amin Indramayu dan Dosen Pascasarjana UIN SSN Cirebon)


Ada dua kasus yang menarik dalam konteks hukum di Indonesia—dan menyita perhatian public—Pertama, Kasus Tom Lembong dan Kedua, Kasus OTT KPK yang melibatkan Kepala Dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara.


Pertama, Kasus Tom Lembong. Ini menarik, karena pada akhirnya Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong divonis hukuman penjara. 


Hakim menyatakan Tom bersalah dalam kasus korupsi kegiatan impor gula di Kementerian Perdagangan RI.  Hakim yang mengadilinya, menyatakan Thomas Trikasih Lembong telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana dan menjatuhkan pidana kepada Thomas Trikasih Lembong dengan pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan. 


Padahal banyak pakar menyatakan bahwa vonis yang dijatuhkan kepada Tom Lembong jauh dari unsur keadilan. Anies Baswedan sampai pada Kesimpulan; Hari ini, Tom Lembong divonis 4,5 tahun penjara. Keputusan yang amat mengecewakan bagi siapa pun yang mengikuti jalannya persidangan dengan akal sehat, meski sayangnya tidak mengejutkan.


Selama proses berjalan, berbagai laporan jurnalistik independen dan analisis para ahli telah mengungkap kejanggalan demi kejanggalan dalam dakwaan. Fakta-fakta di ruang sidang justru memperkuat posisi Tom, tapi semua itu diabaikan. Seolah-olah 23 sidang yang telah digelar sebelumnya tak pernah ada. Seolah-olah bukti dan logika tak diberi ruang dalam proses peradilan.


Jika kasus sejelas ini saja bisa berujung pada hukuman penjara, jika seseorang seperti Tom yang dikenal dan terbukti integritasnya di pengadilan, terbuka dan disorot publik perkaranya, masih bisa dihukum semena-mena, maka bayangkan nasib berjuta lainnya yang tak punya akses, sorotan, atau kekuatan serupa.


Bahkan seorang Komjem Pol. (Purn) Oegroseno langsung mengucap Innaalillahi wa innaa ilaihi raji’uun Pak Tom Lembong dihukum 4 tahun 6 bulan penjara hanya dengan alasan;


Pertama, Melanggar hukum karena BUMN bekerja sama dengan swasta dalam melaksanakan impor gula--maka bersiap-siaplah semua pejabat yang menugaskan BUMN dan BUMN tersebut bekerjasama dengan swasta masuk penjara. Padahal kerjasama dengan swasta adalah sah dan merupakan kewenangan BUMN tapi yg disalahkan Tom Lembong padahal bukan kewenangannya dan bukan keputusannya; Kedua, Keuntungan swasta dari kerjasama dengan BUMN dianggap kerugian negara;


Ketiga, Tidak melaksanakan pemberian penugasan ke BUMN tentang impor gula jangka panjang padahal tidak ada kaitannya dengan kasus ini; Keempat, Tidak ada sama sekali menerima kick back dari kebijakan tersebut; Kelima, Tidak ditemukan mensrea (niat jahat)


Oegroseno kemudian juga menyampaikan agar publik tahu, pak Tom Lembong adalah menteri yang awalnya sangat disayangi  dan paling banyak membantu kesuksesan Jokowi seperti halnya dengan Anies Baswedan tapi karena beda politik langsung "dihajar”. 


Kasus Kedua, OTT KPK terhadap Kepala Dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara bersama koleganya. Kepala Dinas ini konon orang dekat dan kepercayaan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution, yang nota bene-nya adalah menantu Joko Widodo. Pertanyaannya, akankah KPK memiliki keberanian untuk mengungkap secara tuntas, terbuka dan terang benderang mengungkap kasus ini serta kemungkinan keterlibatan sang Gubernur?


Sampai di sini, hukum harus diberlakukan secara adil atau akankah keadilan hanya utopia? Ketidakadilan dipertontonkan untuk ‘menghajar’ rakyat kecil, lawan politik, dan mereka yang kritis?


Epidemi Korupsi

Penggalan lyrik lagu ‘Badut’ Bang Iwan Fals rasanya masih segar diingatan kita, ketika dilantunkannya;

Dut badut badut badut badut badut badut

Jaman sekarang

Mong omong omong omong omong omong omong omong

Sembarang

Di televisi

Di koran koran

Di dalam radio

Di atas mimbar

Nggut manggut manggut manggut manggut manggut manggut

Seperti badut

Ya iya iya iya iya iya iya

Ya iya iya


Peragawati peragawan

Senyam senyum seperti badut

Penyanyi dan pemusik

Bintang film nampang seperti badut


Ku aku aku aku aku aku aku

Seperti kamu

Mu kamu kamu kamu kamu kamu kamu

Seperti badut


Di televisi

Di koran koran

Di dalam radio

Di atas mimbar


Para pengaku intelek

Tingkah polahnya lebihi badut

Kaum pencuri tikus

Politikus palsu saingi badut


Lyrik lagu ini sedang difragmentasikan—terutama oleh oknum pejabat negara, kepala daerah, politik, penegak hukum, kalangan swasta—yang banyak terjerat persoalan hukum dan bahkan terjaring OTT oleh KPK, belum lagi mereka yang selamat. 


Prof. Marwan Mas bahkan sampai menyebutnya dengan epidemi yang sangat membahayakan karena semakin sulit dibendung. Kehidupan perikebangsaan semakin terancam disebabkan korupsi terjadi di hampir semua institusi negara—tidak hanya eksis di pusat pemerintahan, tetapi telah mewabah ke daerah—yang seperti air bah terus menerjang. Yang menghawatirkan, ada dugaan kuat telah terjadi  ‘regenerasi koruptor’ secara apik. Hal ini ditandai dengan usia pelaku koruptor rata-rata masih muda dan energik. Karena energiknya, mereka dengan mudah mengeruk uang rakyat dalam jumlah besar dengan jalan memanipulasi secara apik kewenangan yang diberikan negara.


Salah satu yang ditengarai menjadi penyebab lahirnya generasi koruptor, karena hukuman yang dijatuhkan hakim terlalu ringan dan tidak berefek jera. Perilaku korupsi yang melibatkan kaum muda, menyebabkan indeks persepsi korupsi Indonesia masih tetap mengecewakan. 


Korupsi juga kelihatannya menjadi sebuah style yang dicita-citakan. Fenomena ini dapat dilihat dari berbagai fakta yang diungkap dalam sidang pengadilan tindak pidana korupsi, bahwa sejumlah kepala daerah yang menjadi terdakwa menyebut korupsi dilakukan lantaran menebus biaya politik dan labanya—politik balik modal—yang dikeluarkan untuk membiayai dana kampanye dan politik uang. Demokrasi berbiaya tinggi (high cost) menjadi pemicu potensial bagi seseorang menyalahgunakan wewenang saat kekuasaan diraihnya. Walau dalam bahasa Evi Hartanti dari sederet faktor penyebab korupsi di posisi teratas dikarenakan lemahnya pendidikan agama dan etika (moral dan intelektual) para pemimpin, yang pasti tindak korupsi tidak disebabkan oleh sebab tunggal. 


Keadilan Substantif; Sebuah Solusi 


Marwan Mas, kembali mengingatkan untuk menindak kasus korupsi tidak hanya bisa diselesaikan dengan program-program anti-korupsi, legislasi dan penegakan hukum. Perlu tindakan progresif supaya para pelaksana hukum tidak terjebak pada prosedur formal dalam penanganan tindak korupsi, tetapi juga memperhatikan keadilan substantif, yaitu nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat yang memandang korupsi melanggar hak-hak sosial-ekonomi rakyat.  


Dengan mengadaptasi Pasal 1 butir 3 Undang-Undang No. 30/2020 tentang KPK, pemberantasan korupsi bisa dilakukan dengan kegiatan represif, preventif dan peran serta masyarakat. Yang pasti hukum harus ditegakkan seadil-adilnya dengan tanpa pandang bulu, dengan meminjam Bahasa nabi yang Mulia “Law anna fathimata binti Muhammadin syaraqat, laqatha’tuha”.


Editor:

Adv. Assist. Prof. Dr. Hamdan Firmansyah, MMPd, MH, CLA, CT, CMT 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama